CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, 25 Februari 2010

Peran Teknologi dalam Proses Pembelajaran; Tugas 2

Teknologi: Perannya dalam proses pembelajaran
Pada masa sekarang, perkembangan ilmu pengetahuan telah mencapai suatu tahap di mana manusia tidak dapat lagi mengikutinya karena terlalu cepat untuk dapat di ikuti oleh manusia.
Oleh karena itu, teknologi (terutama internet dan komputer) digunakan untuk mengimbangi kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan, agar informasi yang ada dari seluruh dunia dapat di peroleh dalam waktu yang singkat.
Karena itu, dapat dikatakan teknologi memiliki peran yang sangat penting dalam memperlancar proses pembelajaran.

Hubungan antara e-learning dengan ubiquitous computing:
Menurut pendapat saya, untuk dapat memahami apakah hubungan antara e-learning dengan ubiquitous computing, kita perlu terlebih dahulu memahami apa itu e-learning dan ubiquitous computing.

A. E-learning dan Ubiquitous computing
1. E-learning
Pengertian istilah e-learning menurut buku TIK oleh Munir:
Huruf e pada e-learning berarti elektronik yang kerap disepadankan dengan kata virtual (maya) atau distance (jarak).
Dari sini kemudian muncul istilah virtual learning (pembelajaran di dunia maya) atau distance learning (pembelajaran jarak jauh).
Kata learning sering diartikan dengan belajar pendidikan (education) atau pelatihan (training).

Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan media atau jasa bantuan perangkat elektronika (network) yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar kepada para peserta didik menggunakan media teknologi informasi berupa komputer dan jaringan internet atau intranet.
Singkat kata, e-learning adalah proses learning (pembelajaran) menggunakan / memanfaatkan TIK sebagai tools.

Belajar dengan e-learning:
Dengan e-learning, belajar dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, melalui jalur mana saja dan dengan kecepatan akses apapun.
Dalam pembelajaran e-learning pengajar dan peserta didik tidak perlu berada di tempat dan waktu yang sama untuk melangsungkan proses pembelajaran, e-learning memperpendek jarak antara pengajar dan peserta didik sehingga proses pembelajaran berlangsung secara efisien dan efektif.

2. Ubiquitous computing
Adalah penekanan pada distribusi komputer ke lingkungan, ketimbang ke personal.
Perangkat teknologi umum (telepon dan perangkat elektronik lainnya) akan terkoneksi ke internet dan pengguna mungkin tidak menyadari perangkat mana di lingkungannya yang terkoneksi.

Ubiquitous adalah kebalikan dari dunia realitas virtual yang menempatkan manusia dalam dunia yang diciptakan komputer, ubiquitous computing memaksa komputer eksis di dunia manusia.

Belajar dengan Ubiquitous computing:
Perangkat komputer baru yang kecil, portabel, mobile, dan murah, diperkirakan akan menggantikan komputer dekstop.
Dengan adanya perangkat baru ini, murid akan lebih mudah membawa perangkat informasi personal ke lapangan untuk membantu mengerjakan tugas dan bisa di bawa pulang, selain itu murid juga bisa meningkatkan kolaborasi dan memudahkan penggunaan tanpa di batasi lokasi.

B. Hubungan antara e-learning dengan ubiquitous computing:
Seperti yang dapat kita baca di atas, baik e-learning maupun ubiquitous computing memiliki fungsi yang mirip, yaitu: mempermudah proses pembelajaran. Mahasiswa hanya tinggal men-download materi kuliah yang di-upload oleh dosen, sehingga tanpa bertemu muka langsung pun proses pembelajaran dapat berlangsung. Hal ini terlihat dari adanya kuliah on-line (audio conferencing, video broadcasting, dan videoconferencing) di mana mahasiswa dan dosen berada di negara yang berbeda dan di benua yang berbeda, mahasiswa tidak perlu lagi meninggalkan tanah airnya untuk mengikuti kuliah dari universitas yang ditujunya.
Baik e-learning maupun ubiquitous computing saling berkaitan dalam hal bahwa yang satu sulit eksis tanpa ada keberadaan yang lainnya. Untuk e-learning dibutuhkan adanya komputer pribadi maupun pinjaman (ubiquitous computing), dan tanpa adanya e-learning keberadaan ubiquitous computing menjadi kurang berarti, untuk apa Anda memiliki komputer personal jika tidak Anda manfaatkan untuk mencari informasi?



Referensi :
Santrock, John W, 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua, Jakarta: Kencana.
Munir, 2008. Kurikulum Berbasis Teknologi dan Informasi, Bandung: Alfabeta.


25 Februari 2010, 17:23
Cecilia Horison

Proposal Proyek Kecil Pendidikan

Berikut adalah proposal proyek psikologi pendidikan kelompok kami.


Kelompok J:
Florence (09-082)
Stevanus (09-068)
Magdalena (09-070)
Cecilia Horison (09-082)
Westley (09-084)

Jumat, 12 Februari 2010

Tugas Diskusi Kelompok

Bagaimana pandangan dan penilaian kelompok anda sehubungan dengan kewajiban setiap mahasiswa/i yang mengikuti mata kuliah psikologi pendidikan 3 sks TA 2009-2010 harus memiliki e-mail dan blog ditinjau dari uraian psikologi pendidikan dan fenomena di indonesia medan khususnya?

Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan oleh kelompok kami, mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti psikologi pendidikan 3 sks TA 2009-2010 wajib mempunyai e-mail dan blog dapat menunjang diri mereka dalam mengumpulkan tugas-tugas mereka dan berguna dalam pembelajaran dalam mata kuliah psikologi pendidikan yang sedang diambil.

Informasi tentang mata kuliah juga dapat dilihat dari blog dan jika mahasiswa-mahasiswi kurang mengerti dalam mengerjakan tugas mata kuliah ini dapat melihatnya di blog.

Selain manfaat yang telah disebutkan diatas, manfaat lain yang didapat adalah mahasiswa-mahasiswa dapat menggunakan blog maupun e-mail dengan baik, dapat dengan mudah melihat hasil kerja teman-teman yang lain untuk membuat pekerjaan atau prnya mempunyai hasil yang lebih baik (dan bukan menirunya), memaksa mahasiswa untuk menggunakan teknologi yang sebelumnya belum mereka gunakan yang membantu menambah pengetahuan mereka dalam menggunakan teknologi yang sebelumnya belum pernah mereka gunakan sebelumnya.

Penggunaan e-mail dan blog juga mempunyai manfaat yaitu untuk membantu mahasiswa-mahasiswi menyadari kemudian memperbaiki kesalahan mereka dalam mengerjakan tugas mereka yang telah mereka post ke blog mereka, teman-teman mereka diharapkan dapat memberikan komentar yang berguna untuk memperlihatkan atau menunjukkan kesalahan mereka dengan harapan tugas mereka kerjakan di kemudain hari mendapat hasil yang lebih baik dari yang sebelumnya.

Anggota Kelompok :

Florence (09-022)
Stefanus Tarigan (09-068)
Magdalena (09-070)
Cecilia Horison (09-082)
Westley (09-084)

Rabu, 10 Februari 2010

Lulu: pengidap MR; Tugas 1

Berikut ini adalah pengalaman saya ketika saya masih duduk di bangku SMP:

Saat saya masih SMP, saya bersekolah di Kisaran, tepatnya di Perguruan Swasta Diponegoro. Di sekolah itu, di kelas adik saya, terdapat seorang pelajar yang tidak biasa, sebut saja namanya Lulu.

Lulu disekolahkan di sekolah kami karena di kota kami tidak ada Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak yang membutuhkan perhatian lebih. Karena itu, Lulu tidak mampu mengikuti pelajaran seperti siswa-siswa lainnya, sehingga ia berulang kali tinggal kelas.

Lulu tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang paling sederhana sekalipun, tidak mampu mengikuti instruksi guru, bertingkah laku yang kadang sangat kekanakan, dan ia juga memperlihatkan beberapa perilaku abnormal yang terkadang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Menurut kabar burung, Lulu menderita MR (Mental Retardation).

A. Definisi MR

Menurut DSM-IV-TR (2000), ada 3 kriteria Retardasi Mental:

1. Intellectual Deficits, dengan acuan IQ 70, terbagi atas beberapa level:

a. Mild MR, IQ antara 55-70.

b. Moderate MR, IQ antara 40-54.

c. Severe MR, IQ antara 25-39.

d. Profound MR, IQ <>

2. Adaptive Behavior, individu tidak mampu beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari.

3. Dimulai sejak sebelum usia 18 tahun.

B. Penyebab MR

1. Faktor Genetik

a. Sindrom Down (Down Syndrome)

Anak dengan sindrom down memiliki tiga buah kromosom 21 yang seharusnya hanya ada dua, sehingga kondisi ini disebut juga trisomy 21.

Pada awalnya, gangguan ini disebut mongoloidism karena karakteristik muka: wajah lebar, mata dengan lipatan yang berlebih, dan hidung pesek.

Kognitif anak-anak dengan sindrom down rata-rata IQ-nya 50, intelegensi sosial mereka biasanya tinggi, namun kurang dalam hal kemampuan berkomunikasi.

b. Fragile-X Syndrome

Kondisi ini diakibatkan karena keabnormalan kromosom X, dan biasanya lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita.

Karakteristik penderita sindrom fragile-X ini adalah wajah memanjang, hidung pesek, rahang menonjol, telinga panjang, dan koordinasi tubuh yang buruk.

Anak dengan sindrom fragile-X menunjukkan kerja yang bagus pada tugas yang membutuhkan memproses holistic, seperti mengenali gambar, tetapi kesulitan dalam tugas yang membutuhkan logika linear.

2. Kerusakan Otak

Bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti:

1. Lingkungan luar, misalnya: benturan di kepala, malnutrisi, keracunan, luka saat kelahiran, atau ibu yang mengonsumsi alkohol pada waktu hamil.

2. Infeksi virus pada ibu hamil, misalnya: rubella, sifilis, herpes, dan AIDS.

3. Infeksi pada masa kanak-kanak, misalnya: meningitis dan encephalitis.

C. Cara menangani anak dengan retardasi mental

Salah satu cara menangani anak dengan retardasi mental adalah dengan cara menyesuaikan materi pelajaran dengan kemampuan dan kebutuhan si anak. Dengan kata lain, sekolah harus menggunakan kurikulum yang sesuai dengan pelajar yang tidak biasa.

Berikut ini adalah siklus pengembangan kurikulum (Depdiknas, 2006):

1. Perencanaan kurikulum

a. Merumuskan tujuan

b. Perumusan materi

c. Perumusan kegiatan pembelajaran

d. Penentuan alat evaluasi yang diperlukan

2. Pengembangan kurikulum

a. Mengembangkan tujuan kurikulum

b. Mengembangkan materi

c. Mengembangkan metode kurikulum

d. Mengembangkan evaluasi kurikulum

3. Pelaksanaan kurikulum

4. Penilaian kurikulum

Sekian yang dapat saya sampaikan untuk menyelesaikan tugas kuliah ini, apabila ada kesalahan dalam pengetikan maupun yang lainnya, saya mohon maaf. Jika pembaca mendapati ada kesalahan informasi, silahkan tinggalkan komentar. Saran dan kritik diterima dengan senang hati. Terima kasih.

Referensi:

1. Santrock, J. W. (2008). Psikologi Pendidikan (Edisi Kedua). Jakarta: Kencana.

2. Munir. (2008). Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: CV Alfabeta.

3. Kerig, Partricia. (2006). Developmental Psychopathology: From Infancy through Adolescence (Fifth Edition). New York: McGraw-Hill.

11 Februari 2010,

Cecilia Horison

00:14